Ikhlas
"Tiadalah seorang muslim yang ditimpa musibah dalam bentuk
Kelelahan, sakit, kesusahan, kesedihan, gangguan dan kecemasan, kecuali Allah
menghapuskan darinya segala kesalahan dan dosa, hingga duri yang menusuknya
juga sebagai penghapus dosa"
(HR. Al-Bukhari)
Karena itu,
pengobatan hati harus lebih diprioritaskan dari pengobatan fisik. Hati adalah
pangkal segala kebaikan dan keburukan. Dan obat hati yang paling mujarab hanya
ada dalam satu kata ini: ikhlas.
Kedudukan
Ikhlas
Ikhlas adalah
buah dan intisari dari iman. Seorang tidak dianggap beragama dengan benar jika
tidak ikhlas. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162). Surat Al-Bayyinah
ayat 5 menyatakan, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.”
Rasulullah saw. bersabda, “Ikhlaslah dalam beragama; cukup bagimu amal yang
sedikit.”
Tatkala Jibril
bertanya tentang ihsan, Rasul saw. berkata, “Engkau beribadah kepada Allah
seolah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya
Allah melihatmu.” Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima
amal kecuali dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha-Nya.”
Fudhail bin
Iyadh memahami kata ihsan dalam firman Allah surat Al-Mulk ayat 2 yang
berbunyi, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, untuk menguji kamu, siapa
di antara kamu yang lebih baik amalnya” dengan makna akhlasahu (yang
paling ikhlas) dan ashwabahu (yang paling benar). Katanya, “Sesungguhnya
jika amal dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak diterima. Dan
jika amal itu benar tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima. Sehingga, amal
itu harus ikhlas dan benar. Ikhlas jika dilakukan karena Allah Azza wa Jalla
dan benar jika dilakukan sesuai sunnah.” Pendapat Fudhail ini disandarkan pada
firman Allah swt. di surat Al-Kahfi ayat 110.
Imam Syafi’i
pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika engkau
berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha
(suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan
niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”
Karena itu tak
heran jika Ibnul Qoyyim memberi perumpamaan seperti ini, “Amal tanpa keikhlasan
seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tapi
tidak bermanfaat.” Dalam kesempatan lain beliau berkata, “Jika ilmu bermanfaat
tanpa amal, maka tidak mungkin Allah mencela para pendeta ahli Kitab. Jika ilmu
bermanfaat tanpa keikhlasan, maka tidak mungkin Allah mencela orang-orang
munafik.”
Makna
Ikhlas
Secara bahasa,
ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak kotor.
Maka orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk
Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan
tidak riya dalam beramal.
Sedangkan
secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal
tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari kotoran yang
merusak.
Seseorang yang
ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras (nampi beras) dari
kerikil-kerikil dan batu-batu kecil di sekitar beras. Maka, beras yang dimasak
menjadi nikmat dimakan. Tetapi jika beras itu masih kotor, ketika nasi dikunyah
akan tergigit kerikil dan batu kecil. Demikianlah keikhlasan, menyebabkan
beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan segala pengorbanan tidak
terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan riya akan menyebabkan amal
tidak nikmat. Pelakunya akan mudah menyerah dan selalu kecewa.
Karena itu,
bagi seorang dai makna ikhlas adalah ketika ia mengarahkan seluruh perkataan,
perbuatan, dan jihadnya hanya untuk Allah, mengharap ridha-Nya, dan kebaikan
pahala-Nya tanpa melihat pada kekayaan dunia, tampilan, kedudukan, sebutan,
kemajuan atau kemunduran. Dengan demikian si dai menjadi tentara fikrah dan
akidah, bukan tentara dunia dan kepentingan. Katakanlah: “Sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta
alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku.”
Dai yang berkarakter seperti itulah yang punya semboyan ‘Allahu Ghayaatunaa‘,
Allah tujuan kami, dalam segala aktivitas mengisi hidupnya.
Buruknya
Riya
Makna riya
adalah seorang muslim memperlihatkan amalnya pada manusia dengan harapan
mendapat posisi, kedudukan, pujian, dan segala bentuk keduniaan lainnya. Riya
merupakan sifat atau ciri khas orang-orang munafik. Disebutkan dalam surat
An-Nisaa ayat 142, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan
Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat
mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat itu) di
hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”
Riya juga
merupakan salah satu cabang dari kemusyrikan. Rasulullah saw. bersabda,
“Sesungguhnya yang paling aku takuti pada kalian adalah syirik kecil.” Sahabat
bertanya, “Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Riya.
Allah berkata di hari kiamat ketika membalas amal-amal hamba-Nya, ‘Pergilah
pada yang kamu berbuat riya di dunia dan perhatikanlah, apakah kamu mendapatkan
balasannya?’” (HR Ahmad).
Dan orang yang
berbuat riya pasti mendapat hukuman dari Allah swt. Orang-orang yang telah
melakukan amal-amal terbaik, apakah itu mujahid, ustadz, dan orang yang
senantiasa berinfak, semuanya diseret ke neraka karena amal mereka tidak ikhlas
kepada Allah. Kata Rasulullah saw., “Siapa yang menuntut ilmu, dan tidak menuntutnya
kecuali untuk mendapatkan perhiasan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan
wangi-wangi surga di hari akhir.” (HR Abu Dawud)
“Kutipan”
Yahya bin Abi Katsir t berkata:“Pelajarilah niat karena niat lebih sempurna daripada amal.”
Ibnul Mubarak t berkata:
“Berapa banyak amal yang kecil menjadi besar karena niat.”
Yusuf bin Al-Husain Ar-Razi t berkata:
“Perkara yang paling berat di dunia adalah ikhlas. Aku sering menghilangkan riya` dari hatiku tetapi seolah tumbuh lagi di hatiku dengan warna yang berbeda.”
Mutharrif bin Abdullah t berkata:
“Baiknya hati tergantung dari baiknya amal, dan baiknya amal tergantung dari baiknya niat.”
Sufyan Ats-Tsauri t berkata:
“Sesuatu yang paling berat mengobatinya bagiku adalah niatku, karena niatku senantiasa berbolak-balik.”
Seorang ahli cerita yang suka menasihati orang berdiri dekat Muhammad bin Wasi’, lalu berkata, “Betapa aku melihat hati manusia tidak khusyu’, tidak menangis, dan kulit tidak bergetar dengan nasihat. Mengapa?”
Muhammad berkata, ”Hai fulan, aku melihat manusia datang dari sisimu. Sesungguhnya peringatan itu jika keluar dari hati (yakni dilakukan secara ikhlas –red) maka akan diterima hati.”
(Shifatush Shafwah, 4/269, Aina Nahnu min Akhlaqis Salaf)
Sumberku:
asysyariah.com
dakwatuna.com
Komentar